Sabtu, 26 Februari 2011

AKU DAN MASA KECILKU (2)

                Aku bersyukur dikursuskan Electone/Organ, karena ternyata sampai hari ini aku bisa tampil dimana saja, acara apa saja dari yang santai sampai resmi. Aku bisa menghasilkan uang dari talenta yang diberikan Tuhan ini. Walau pada awalnya aku lebih ingin dimasukkan kursus menyanyi, menari dan teater, yang pada masa itu yang terkenal adalah Teater Shangrila dan Pranajaya. Tapi kata mama kalau kursus menyanyi itu mahal, dan lagipula papaku lebih suka wanita yang bisa main piano. O la la..ternyata papaku terlalu terobsesi sampai-sampai dia rela membelikanku Organ tingkat dua yang pada saat itu sudah mahal.
               
            Mamaku bersaudara banyak, kalau tidak salah ada 12 bersaudara. Rata-rata sih semuanya orang kaya, ada yang dokter, ada yang hakim atau bekerja di Pemda. Nah ceritanya mereka ini saling berlomba-lomba dalam memamerkan kekayaan. Lucunya nih, saat yang satu ada yang beli Organ, yang lain mengikuti membeli  tipe yang lebih tinggi. Yang satu beli piano, semua beli piano. Yang satu kursusin anaknya Piano dan Organ, semuanya juga, tapi sayangnya semuanya hanya pajangan aja demi gengsi. Aku suka gak tega melihat benda-benda itu dibiarkan rusak sedikit demi sedikit. Dari barang besar sampai-sampai yang satu beli kaset video The Sound of Music, film yang pada masa itu sangat booming semuanya beli juga. Aku sangat ingat sekali hal ini, dan hanya keluargaku yang tidak bisa mengikuti yang lainnya. Kita hanya memiliki organ setingkat dengan tombol yang sedikit, itu juga belinya agak susah. Sampai akhirnya kami baru bisa membeli Electone tingkat dua dengan tukar tambah, itu juga karena aku sudah mulai kursus jadi biar bisa dipakai latihan. Keluargaku adalah yang paling akhir dari semuanya, dari beli Organ, Televisi berwarna, Piano sampai akhirnya Mobil. Tapi aku tidak pernah merasa minder sekalipun, aku malah lebih salut pada kedua orangtuaku. Dan aku sangat mensyukurinya.
                
            Maka tibalah saatnya aku diberikan kesempatan untuk main Organ di ibadah hari minggu gerejaku. Saat itu aku masih duduk di kelas 6, masih kecil, dan karena box organnya besar sekali sehingga badanku tenggelam dan semua jemaat tidak ada yang bisa melihat pemain musiknya. Aku ingat sekali betapa gemetarnya kakiku dan tanganku sedangkan kakiku harus menginjak pedal, dan kalau gemetaran apa jadinya suara yang keluar. Tapi Puji Tuhan semua berjalan dengan lancar. Setelah hari itu aku semakin mendapat banyak tawaran main dimana saja, dari mengiringi acara pernikahan, natal, ulangtahun. Lebih banyak sih pernikahan dan natal, kalau acara kedukaan belum pernah selain mengiringi kepergian papaku. Lucu juga ya, karna profesi kita sering dituntut melakukannya walau keadaan sedang tidak memungkinkan. Seperti saat kepergian papaku, aku diminta untuk bisa tetap bermain mengiringi kebaktian di rumah dan di gereja. Hanya saat kepergian mamaku, aku tidak diperbolehkan untuk main organ di gereja walau aku ingin. Tapi saat kepergian abang sulungku, aku diminta main organ tapi aku tidak bisa melakukannya sama sekali.. Sungguh suatu profesi yang sulit karena melibatkan perasaan.
               
              Saat duduk dibangku SMA aku dipercaya untuk mengajar privat dari rumah kerumah. Pulang sekolah langsung mengajar. Ada murid yang cepat tanggap, ada yang lama sekali baru mengerti. Sungguh semua ini sebuah tantangan bagiku dan sekaligus membosankan. Akhirnya dengan alasan sekolah, aku berhenti dari mengajar. Aku lebih tertarik dengan acara-acara yang tidak memakan waktu lama. Namun semakin lama aku semakin jarang main didepan umum, karena aku harus ke Perancis.
                
             Papaku meninggal saat aku duduk dikelas 2 SMP, setelahnya aku masih tampil ditemani oleh mama tersayang. Namun sejak mama menyusul papa saat aku duduk di kelas 3 SMA, kegiatanku juga otomatis berhenti semuanya. Les Bahasa Perancis, Les Piano juga. Dan setelah dibujuk oleh Tanteku yang tinggal di negeri romantis itu, maka akupun bertekad meninggalkan Indonesia menuju negeri yang sejak lama aku impikan, negeri darimana namaku berasal. Dengan berbekal kesedihan karna kehilangan kasih sayang mama, maka aku berharap di Perancis akan mendapatkan kembali kasih sayang seorang Ibu dari adik mama.
               
                Abang sulungku, Ian berkata, “Kelak kau akan menyadari keluargamu adalah kami.” Dan saat aku lulus SMA dengan semangat aku melangkah pergi, meninggalkan semuanya, kenangan pahit dan manis di negeriku tanpa melihat sedikitpun bahwa sebenarnya keluargaku berat melepasku semuda ini untuk pergi ke negeri yang jauh. Dan akupun mengira ini adalah akhir deritaku dan aku akan menyongsong kebahagiaanku. Ternyata aku melakukan kesalahan besar. Kepergianku adalah kesalahan besar yang pernah aku lakukan. Namun tetap saja dalam segala kesalahan, maka akan ada pelajaran yang kuterima. Cukup pedih jika mengingatnya tapi aku bersyukur semua terjadi oleh karena izinNya.

(BERSAMBUNG)

2 komentar:

  1. Tentu berat ditinggal orang tua di usia semuda itu. Ceritanya diteruskan ya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas atensinya, maaf baru sempat buka blog lagi..

    BalasHapus