Minggu, 23 Oktober 2011

SALATIGA DALAM KENANGAN (1)

“September ceria..september ceriaaa..” demikian tembang lawas yang dinyanyikan oleh biduanita Vina Panduwinata. Namun apa yang aku rasakan adalah Oktober ceria...:)) Tanya kenapa? Begini kisahnya :
Sudah lama aku ingin ke Salatiga, Jawa Tengah. Kalau dilihat orang-orang lebih memilih ke Yogyakarta ketimbang ke Salatiga. Kota ini demikian kecilnya sehingga tidak begitu terkenal apa saja yang ada didalamnya. Aku hanya pernah diceritakan temanku kalau Salatiga itu kota pelajar dan banyak umat kristianinya, karna disitu ada Universitas Kristen Satyawacana.

Berkenaan dengan kampus ini, alm papaku yang lahir di Banda Aceh dan besar di Lahat Sumatera Selatan, pernah mengecap pendidikan disini dan bekerja disini sebagai guru sejarah tingkat sekolah menengah umum atas (SMU sekarang) Jadi jelas saja kota ini menjadi kota bersejarah bagi  alm papaku, ditambah lebih bersejarah lagi saat beliau bertemu dan berkenalan dengan almarhumah mamaku yang saat itu sedang ditugaskan (mengajar atau training kurang jelas) di kota tersebut.  Akhirnya karna ada chemistry antara mereka, jadianlah dan menikahlah mereka di Medan, menetap di kota Malang tempat kelahiran ketiga abangku, barulah pindah ke Jakarta sampai akhir hayatnya. Saat papa setahun lagi menjelang pensiun dari kantornya, beliau merencanakan untuk menghabiskan uang tanda jasa dari kantor untuk bernostalgia ke tempat kenangan mereka yaitu kota Salatiga. Namun karna Tuhan berkehendak lain, sebelum semua itu terwujud maka papaku sudah mendahului kami semua. Dan kini 20 tahun kemudian, aku anaknya baru dapat mewujudkan keinginan mereka berdua.  Salatiga...I’m coming!!!

Temenku Evi punya rencana ke kota ini karna ada keperluannya menjenguk rumah alm temannya. Karna ajakan Evi lah, maka semuanya terjadi. Kami ingin naik pesawat tapi ternyata harga tiketnya masih melambung tinggi setelah Lebaran. Akhirnya kami memilih naik kereta ke Semarang, dan sempat kami panik karna tidak kebagian tiket pulang yang jam 4 sore dari Semarang. Tuhan sangat baik, menyediakan tiket kereta dari Surabaya jam 23.00 malam waktu Semarang. Kami pergi sore itu hari Jumat langsung dari Gambir. Kereta eksekutif kami namanya Sindoro. Sudah lama aku tidak naik kereta jarak jauh, terakhir kali itu tahun 1990 ke Malang transit Surabaya. Aku masih ingat namanya KA Bima, pake AC, mendapatkan makan siang dan makan malam, selimut, pokoknya enak deh. Dibanding sekarang (khususnya Sindoro) AC  kurang dingin, gak dapat makanan (dan ternyata semua kereta begitu) Tapi tetep aja ini merupakan pengalaman baru bagiku, jadi rada norak-norak gitu deh. Untung Evi tahan banting dengan kenorakanku..hahahahaha..kaca jendelaku retak seperti habis ditimpuk batu, tempat dudukku tidak bisa dimundurkan untuk tidur. Hanya satu yang menggembirakan, tidak jauh dari toilet.

Kami tiba di Semarang jam 23.30 lebih lambat satu jam dari jadwal di tiket. Temanku Ariz menjemput kami di stasiun Tawang. Inilah kali pertama aku menjejakkan kakiku di Semarang. Saat kami naik mobil melewati kota semarang yang sudah terlelap, kami melewati kota tua yang disebut Ariz Kota Lama. Kesanku pertama Semarang itu tua, sepi dan suram karna lampu penerangan yang ada tidak begitu terang. Ternyata saat kami memasuki dalam kotanya, alun-alun, sepanjang jalan besar itu ramai sekali berkumpul klub motor, seperti Harley Davidson, Vespa, Ninja dll. Mereka saling membentuk komunitasnya sendiri yang kebanyakan anak kuliah. Barulah aku melihat sisi Semarang yang mirip dengan kota Jakarta. Namun kami saat itu langsung menuju hotel kami di Salatiga.

Hari sudah tengah malam saat kami melewati jalan yang menanjak dengan kanan kiri diapit dengan hutan, sebenarnya mirip seperti jalan ke Puncak, hanya tidak macet. Udara tidak begitu dingin. Kami memasuki kota Salatiga yang sunyi jam 00.30, tidak susah untuk mencari hotel kami yang letaknya di pusat kota, namun kalau ini jalan utama sangat berbeda dengan Jakarta dimana jalan utama itu tidak pernah tidur. Tapi saat itu kami seperti tiba di kota mati. Karena sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Setelah kami tiba dikamar dan berpisah dengan Ariz yang pulang kerumahnya, kamipun mandi dan langsung terlelap, waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Besok akan menjadi hari yang panjang.

Pagi hari aku terbangun jam 06.00. Langsung aku tersadar kalau ini bukan di kamarku. Evi juga sudah bangun. Setelah cuci muka dan sikat gigi, hanya dengan memakai kaos dan celana pendek, tidak bawa apa-apa, aku mengajak Evi untuk jalan-jalan melihat suasana kota Salatiga di pagi hari.

Apa yang aku lihat sangat berbeda dengan semalam. Kota yang semalam seakan mati, pagi ini sangat ramai. Banyak orang yang sudah berjualan, dan ada juga yang masih sarapan. Hotel kami menyediakan sarapan, tapi kami jadi tergiur dengan sarapan yang dijajakan. Dan lebih enaknya lagi mereka makannya sambil lesehan. Aku bertekad besok pagi aku harus merasakan jajanan di pagi hari ini.

Maksud hati ingin berjalan dekat-dekat saja, tapi ternyata kaki ingin melangkah terus menyusuri kota. Evi merasa kenal dengan satu jalan yang ternyata menuju rumah saudaranya. Setiba kami disana, kami disuguhi teh manis hangat aroma melati, cocok sekali dengan udara Sabtu pagi yang sejuk. Nampak kejauhan gunung yang sangat indah sekali. Sayang sekali tidak membawa kamera, namun seketika aku jatuh cinta pada kota kecil ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar